MARGA BATAK
Berhubung mata kuliah ini adalah Ilmu Budaya Dasar, saya
ingin mencoba membuat tulisan yang ada kaitan nya tentang budaya, saya tertarik
ingin mencoba menjelaskan tentang Marga pada suku Batak. Tulisan ini saya ambil
dari berbagai sumber dan apabila ada yang berkeberatan dengan tulisan ini maka
penulis mohon maaf, hal ini hanya penulis lakukan untuk mengetahui dan
melestarikan kebudayaan batak dikarenakan penulis juga orang batak.
Apa itu marga ??
Misal nya seseorang dengan Nama Chenho Hutabarat..Hmm nama
hutabarat itu menunjukan bahwa itu adalah marga yang dimiliki oleh orang
tersebut. Marga menjadi sebuah identitas bagi suku batak. Adapun marga
diberikan sesuai dengan marga ayah. Namun saat ini, marga pun bias diberikan
kepada seseorang dengan upacara adat terlebih dahulu.
Marga adalah istilah orang Batak Toba untuk menyebut leluhur
induk dari silsilah keluarga dan
kekerabatan mereka. Sebagai sebuah tradisi, marga telah menjadi identitas dan
status sosial orang Batak Toba yang masih bertahan hingga kini.
1.
Asal usul
Suku Batak adalah salah satu suku bangsa
terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera
Utara, khususnya daerah di sekitar Danau Toba. Pada masa lampau, wilayah ini
disebut sebagai Tano Batak, yang berarti daerah yang mengelilingi Danau Toba.
Konon, sebenarnya Tano Batak itu meluas hingga sampai ke wilayah Aceh Selatan
dan Aceh Tenggara. Hal ini terbukti dari adanya sebagian kalangan yang mengkategorikan
orang Nias dan orang Aceh Gayo sebagai orang Batak. Tano Batak menjadi lebih
kecil setelah pemerintah Belanda dengan sengaja memecah belah wilayah tersebut
demi strategi penjajahan mereka (J.C. Vergouwen, 1986). Suku Batak memiliki
sub-sub suku yang terikat kuat antara satu dengan lainnya. Ada beberapa
pendapat tentang jumlah sub-sub suku ini. Ada yang menyebut bahwa ada lima sub,
yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Namun, ada juga
yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan Pasisir,
Angkola, Padang Lawas, Melayu,[1] Nias, dan Alas Gayo (Gens G Malau, 2000). Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan
yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri silsilah garis
keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu sub suku Batak yang
masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara,
yaitu Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga
pada Suku Batak Toba yang berasal dari
daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi
Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
Balai Pustaka tahun 2005, halaman 716, mengartikan marga sebagai kelompok
kekerabatan yang eksogam dan unlinear,
baik secara matrilineal (perempuan)
maupun patrilineal (laki-laki). Adapun masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk. Menurut
Vergouwen (1986), jika melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba
sekarang, arti ini terlihat tidak sesuai
dengan realitasnya karena
bagi orang Batak
Toba, marga juga dimaksudkan
untuk
menunjukkan satuan suku-suku yang lebih
kecil dan kelompok yang lebih besar. Hal ini juga disebabkan oleh alur pokok
dari struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam. Orang Batak Toba
hingga kini masih meyakini bahwa marga dan tarombo penting untuk dicari dan
diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa mereka
adalah Dongan-Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti “mereka yang berasal dari rahim yang sama”
(Vergouwen, 1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa Batak yang
berbunyi Tinitip sanggar bahen
huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa binoto partuturan. Arti peribahasa ini
adalah “untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah. Untuk tahu
hubungan kekerabatannya orang harus menanyakan marga”. Keyakinan bahwa orang
Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu marga dan tarombo) disebabkan
oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan
laki-laki (matrilineal) yang brarti bahwa garis marga dan tarombo orang Batak
Toba dteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak
laki-laki, maka marga dan tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan
atau perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta
hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari
kelompok patrilineal yang lain.
2.
Konsep Marga
Orang Batak menganut falsafah
kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan Tungku nan Tiga (tungku tiga
kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan na Tolu (tungku
posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak Toba bahwa sejak
lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus jelas struktur hubungan
kekeluargaan dan kekerabatannya. Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga kedudukan
penting orang Batak Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau Tondong,
Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru. Hula-hula atau Tondong adalah kelompok yang
menempati posisi paling atas, yaitu posisi yang harus dihormati oleh seluruh
orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba
Marhula-hula. Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya sejajar, misalnya
teman dan saudara satu marga. Kelompok ini adalah kelompok yang rentan terhadap
perpecahan. Untuk itu, budaya Batak Toba mengenal konsep Manat Mardongan Tubu,
artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.Boru adalah
kelompok yang menempati posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu
dikasihi (Elek Morboru). Adapun yang termasuk kelompok ini adalah saudara
perempuan dari marga suami dan dari pihak ayah. Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan
konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya terdapat pada ketetapan setiap
posisi dalam sistem ini. Posisi msasing-masing kasta dalam sistem kasta Hindu
tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi kasta
Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta
Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya. Sementara itu,
posisi Dalihan Na tolu sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua
anggota masyarakat Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi
Hulahula, Dongan Tubu, atau Boru. Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga
dari istri seorang bupati bisa jadi hanya menjabat sebagai camat, namun dalam
sebuah upacara adat, si bupati tersebut harus mau mencuci piring untuk melayani
keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula)
dan si bupati masuk dalam posisi bawah (boru). Semua orang Batak harus
berperilaku seakan-akan sebagai “raja” berdasarkan falsafah kekerabatan di
atas. Artinya, dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba, orang harus
berperilaku baik sesuai dengan tata karma dalam sistem kekerabatan Batak, bukan
raja sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam setiap pembicaraan adat, sering terdengar sebutan
Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu,
penyebutan ini dimaksudkan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na
Tolu (semua orang Batak Toba dianggap sederajat). Orang Batak Toba menggunakan dua model pengklasifikasian dalam menentukan marga seseorang, yaitu berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan
berdasarkan wilayah permukiman (teritorial).
a. Berdasarkan keturunan (genealogis)
Orang Batak Toba meyakini bahwa bentuk kekerabatan
berdasarkan garis keturunan ini didasarkan pada silsilah (Tamboro) yang
berujung pada Si Raja Batak. Berdasarkan keyakinan ini, maka semua orang Batak
diyakini pasti memiliki marga. Hal tersebut didasarkan pada sebuah kisah yang
masih dipercayai hingga kini oleh Orang Batak Toba. Menurut kisah tersebut, Si
Raja Batak adalah anak dari seorang perempuan yang bernama Si Borudeakparudjar. Si Borudeakparudjar sendiri adalah seorang
keturunan dewata yang bernama Debata
Muladjadi Nabolon. Suatu ketika,
Debata Muladjadi Nabolon memerintahkan Si Borudeakparudjar untuk menciptakan bumi. Setelah menjalankan perintah dewata tersebut,
kemudian Si Borudeakparudjar pergi
dan tinggal di daerah yang bernama Siandjurmulamula. Konon,
daerah ini terletak
di lereng gunung
Pusuk Buhit. Dalam perkembangannya, kelak daerah inilah
yang akan menjadi tempat tinggal Si Raja
Batak. Daerah ini juga diyakini sebagai tempat seluruh orang Batak berasal. Si
Raja Batak mempunyai dua orang putra, yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja
Isumbaon. Dua orang putra inilah yang
nantinya akan menurunkan seluruh orang Batak hingga sekarang ini. Orang Batak
yang berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan dikenal dengan sebutan Belahan
(cabang) Lontung. Adapun orang Batak
yang berasal dari keturunan Si Raja Isumbaon dikenal dengan sebutan Belahan
Sumba.
1. Belahan Lontung
Belahan
Lontung adalah sebutan untuk orang
Batak keturunan dari Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang putra,
yaitu Raja Biakbiak, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Dalam
perkembangannya, Raja Biakbiak konon pergi ke Aceh dan tidak diketahui lagi
apakah dia meninggalkan keturunan atau tidak. Sementara itu, Saribu Raja
mempunyai tiga orang putra, yaitu Si Raja Lontung, Borbor, dan Babiat. Babiat
konon pergi Karo dan tidak diketahui lagi sejarah dan keturunannya. Limbong
Mulana pada mualnya mendiami lembah di sebelah selatan punggung gunung yang
menghubungkan dengan Pusuk Buhit dengan Tanah Datar. Sementara itu, Sagala Raja
mendiami lembah yang di sebelah utara punggung gunung. Adapun Malau Raja
tinggal di kawasan Pangruruan dengan memakai nama Damanik, yang memerintah
wilayah swapraja Siantar di Sumatera Timur. Si Raja Lontung mempunyai tujuh
orang putra, yaitu Toga Sinaga, Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni
Huta, Siringgo-ringgo, Rumapea,
Sitohang), Toga Pandiangan
( Pandiangan, Samosir,
Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak), Toga Nainggolan, Toga Simatupang,
Toga Siregar, dan Toga Aritonang. Toga Nainggolan sendiri mempunyai dua orang
putra, yaitu Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip) dan Toga Sihombar (Lbn. Nahor,
Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian). Adapun Si Raja Borbor
menurunkan marga Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran,
Saruksuk, Lubis, Batubara, Pulungan, Hutasuhut, Daulay). Anak Guru Tatea Bulan
kedua, yaitu Limbong Mulana memiliki dua putra, yaitu Palu Onggang dan Langgat Limbong.
Anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu
Sagala Raja, menurunkan marga Hutaruar, Hutabagas, dan Hutaurat. Adapun
anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu Malau Raja menurunkan marga Pase,
Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, dan Gurning.
2. Belahan Sumba
Belahan Sumba adalah sebutan untuk orang Batak Toba keturunan
dari Si Raja Isumbaon. Raja Isumbaon hanya mempunyai seorang putra, yaitu Tuan
Sorimangaraja. Konon Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga orang istri, yaitu Nai
Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon. Dari ketiga istri inilah nanti yang akan
menurunkan puak-puak Belahan Sumba. Puak-puak ini tinggal tersebar di wilayah
Sumatera Utara. Nai Ambaton menurunkan marga induk Simbolon, Munte dan Saragi.
Simbolon menurunkan dua marga, yaitu pertama
Simbolon tua yang
terdiri dari Simbolon,
Tinambunan, Tumanggor, Turutan,
Pinayungan, dan Mahanahampun.
Kedua Tamba Tua yang terdiri dari Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari,
Sijabat. Munte atau Munte Tua
menurunkan marga Munte, Sitanggang, dan Sigalingging. Sementara itu,
Saragi atau Saragi Tua menurunkan
marga Saing, Simalango,
Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio,
dan Napitu. Keturunan puak Nai
Ambaton ini sekarang banyak ditemukan di pantai timur Sumatera. Sebaliknya puak
ini jarang ditemukan di bagian selatan danau Toba. Nai Rasaon melahirkan
seorang putra bernama Raja Mangareak dan menurunkan marga Manurung, Sitorus, Sirait,
dan Butar-butar. Anak keturunan puak Nai Rasaon ini saat ini banyak tinggal di
daerah Uluan. Mereka tinggal dalam kelompok di kampung-kampung kecil. Sementara itu,
dari Nai Suanon
lahir seorang anak
bernama Tuan Sorbanibanua. Tuan
Sorbanibanua mempunyai dua istri, yaitu Pasaribu dan Sibasopaet. Dari
istri pertama lahir empat anak laki-laki (tidak dihitung yang sudah meninggal).
Empat anaknya inilah yang nantinya menurunkan kelompok-kelompok Sibagotni
Pohan, Sipaettua, Silahisabungan, dan Raja Oloan. Puak ini banyak tinggal di
hampir seluruh bagian tengah danau Toba.
Sibagotni Pohan mempunyai empat
putra, yaitu Tuan Sihubil (Tampubolon), Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian,
Sianipar), Tuan Somanimbil
(Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol),
dan Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu,
Pardede). Dari istri kedua lahir tiga anak laki-laki, yaitu Si Raja Sobu
(Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea
atau Tobing), Si Saja Sumba, dan Si Raja Naispospos. Si Raja Sumba sendiri
mempunyai dua putra, yaitu Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan,
Hutasoit) dan Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan). Sementara
itu, Si Raja Naipospos menurunkan marga Marbun, Sibagariang, Simanungkalit,
Hutauruk, dan Situmeang.
b. Berdasarkan wilayah pemukiman
(teritorial)
Kekerabatan orang Batak Toba yang ditentukan berdasarkan
wilayah pemukiman terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi
adat-istiadat yang ada di setiap wilayah. Sebagai contoh, orang Batak yang bermukim
di wilayah Mandailing, mereka akan
membentuk suatu tradisi adat-istiadat
yang memiliki corak sendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang
bermukim di Toba. Hal ini dapat terjadi meskipun orang Batak yang bermukim di
Mandailing dan Toba banyak memiliki marga yang sama, seperti marga Siregar, Lubis,
Hasibuan, dan Batubara. Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman ini memiliki
daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal
ini tergambar dalam peribahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu
jonokan do dongan parhundul (Semua orang mengakui bahwa hubungan garis
keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih
dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah) Berdasarkan Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP), maka tempat tinggal suku Batak Toba terbagai dalam 4 (empat)
wilayah besar. Keempat wilayah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Wilayah Samosir, yaitu Pulau Samosir dan sekitarnya.
Adapun marga yang hidup di wilayah ini antara lain marga Simbolon dan Sagala.
2. Wilayah Toba, yaitu daerah Balige, Laguboti, Porsea,
Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini
antara lain marga Sitorus dan Marpaung.
3. Wilayah Humbang, yaitu daerah Dolok Sanggul,
Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di
daerah ini antara lain marga Simatupang Siburian, dan Sihombing Lumban Toruan.
4. Wilayah Silindung, yaitu daerah Sipoholon, Tarutung,
Pahae, dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di daerah ini antara lain marga Naipospos (Sibagariang,
Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun) dan Huta Barat.
3.Pengaruh Sosial
Penetapan ikatan kekeluargaan dan
kekerabatan berdasarkan marga memiliki pengaruh sosial yang beragam bagi
kehidupan orang Batak Toba. Hal ini menandakan bahwa marga sebagai sebuah
tradisi menjadi salah satu unsur yang
penting dalam kehidupan orang
Batak Toba. Pengaruh sosial konsep
marga terwujud dalam beberapa hal, antara lain: Pengaruh terhadap
identitas sosial orang Batak Toba. Setiap bayi orang Batak Toba yang lahir akan
secara otomatis langsung
menyandang marga ayahnya.
Jika bayi tersebut
laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya dan akan menjadi
penerus generasi selanjutnya. Apabila yang lahir bayi perempuan, ia juga akan
menyandang marga ayahnya meskipun marga
itu tidak lagi berkelanjutan karena suku Batak Toba tidak menganut sistem garis
keibuan (matrilineal). Dalam konteks ini, marga berfungsi sebagai identitas
sosial orang Batak Toba. Tanpa marga yang jelas, maka tentu saja identitas sosial
seorang bayi yang baru lahir di Batak Toba tidak diketahui. Ketidakjelasan
marga ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap identitas kewarganegaraan
seseorang setelah dewasa karena akan sulit tercatat dalam data penduduk. Pengaruh
terhadap status sosial. Dalam hubungan
sosial, marga menjadi ukuran
seseorang dalam bersikap terhadap orang lain. Hubungan antar-marga pada
masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak Toba, hubungan marga
ini dapat dilihat dari asal muasal marga
tersebut pada garis keturunan Si Raja
Batak. Semakin dekat
marga tersebut dengan
Si Raja Batak,
maka semakin dituakanlah marga
tersebut, dan orang
akan semakin menghormatinya. Falsafah Dalihan Na
Tolu memang memperlihatkan bahwa orang Batak Toba tampak sangat
demokratis, akan tetapi tetap saja mereka mempunyai konsep tersendiri sehubungan
dengan pengambilan sikap terhadap orang lain yang mempunyai silsilah yang lebih
dekat dengan Si Raja Batak. Dalam konteks ini, marga tetap menjadi salah satu
ukuran status sosial di masyarakat Batak Toba. Pengaruh terhadap hukum adat
perkawinan Batak Toba. Dalam hukum perkawinan adat Batak Toba telah ditetapkan
bahwa jika laki-laki dan perempuan memiliki marga sejenis dan saling mencintai
(tidak harus sama) maka keduanya tidak diperbolehkan menikah. Jika melanggar
ketetapan ini, maka si pelanggar akan
mendapatkan sanksi adat.
Hal ini ditujukan
untuk menghormati marga
seseorang dan agar keturunan marga tersebut dapat
berkembang. Dalam konteks ini, marga memiliki kedudukan yang cukup tinggi dalam
hukum adat Batak Toba. Pengaruh terhadap sistem sosial. Dalam lingkungan sosial
Batak Toba, posisi yang diajarkan dalam falsafah Dalihan Na Tolu dapat
disandang oleh siapa saja. Sebagai contoh, seorang Batak Toba pada saat tertentu
berada dalam posisi boru, akan tetapi di lain waktu posisinya bisa berubah
menjadi hula-hula atau dongan tubu. Hal itu sangat bergantung pada konteks adat
dan keseharian. Ketika seorang Batak Toba yang masuk dalam kelompok boru
(bawah) menikah dengan marga lain, maka status sosial yang disandangnya menurut
sistem Dalihan Na Tolu adalah tetap
sebagai boru. Adapun marga suaminya menjadi hula-hula. Dalam
konteks ini, marga ikut berpengaruh terhadap sistem sosial, yaitu dalam hal kedudukan seseorang
pada kekerabatan dan
sosial orang Batak
Toba. Secara etika, marga juga mengajarkan kepada masyarakat Batak
Toba untuk tidak menyombongkan keturunannya karena dalam waktu tertentu status
mereka dapat berubah. Pengaruh terhadap meluasnya relasi sosial orang Batak
umumnya dan Batak Toba khususnya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam
kehidupan sosial masyarakat
Indonesia sekarang ini
orang Batak menempati profesi
khusus yang cukup terkenal, yaitu profesi sebagai pengacara. Keidentikan
profesi pengacara dengan orang Batak ini tentu saja tidak lepas dari relasi
sosial yang mereka bangun atas nama marga mereka dan sesama orang Batak. Dalam
konteks ini, marga tampaknya menjadi alat ampuh yang digunakan oleh orang Batak
dalam menegaskan dominasi mereka sebagai pengacara. Marga dalam hal ini juga
berfungsi sebagai media untuk mempererat rasa persaudaraan antarsesama orang
Batak di perantauan. Pengaruh terhadap pergantian marga. Marga adalah ciri khas
dan identitas orang Batak Toba. Sebagai sebuah identitas, tidak memakai marga
dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat dan sosial. Dalam kondisi ini, marga
terkadang menjadi beban bagi perempuan Batak Toba yang tidak menginginkan anaknya
menyandang marga ayahnya yang telah meninggal (atau mungkin sang ibu sudah
tidak suka dengan suaminya). Sebagai contoh, ada seorang ibu Batak Toba yang
melahirkan bayi perempuan. Karena suaminya bermarga A, tentu otomatis sang bayi
itu menyandang marga ayahnya yang A. Tatkala umur sang bayi masih 4 hari, sang
ayah meninggal dunia. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke-3, sang ibu
menikah lagi dengan lelaki dari marga lain, katakanlah marga B. Sejak saat itu,
otomatis si bayi marga A tersebut dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga
B. Ternyata, dalam penulisan ijazah si anak tidak ada tercantum penggunaan
marga aslinya (A), melainkan hanya dicantumkan namanya saja. Terlepas dari niat
ibunya, dalam konteks ini, marga di satu sisi dianggap membelenggu orangtua
yang tidak menginginkan anaknya untuk memakai marga ayahnya yang telah
meninggal.
4.Penutup
Ketika banyak tradisi dan adat
istiadat suku bangsa di Indonesia mulai tergerus oleh budaya modern (bahkan ada
yang punah tanpa bekas), marga sebagai salah satu tradisi suku Batak Toba masih
bertahan hingga kini. Dalam konteks ini, kebiasaan orang Batak Toba untuk
meletakkan marga di belakang namanya perlu diapresiasi dan di dukung. Hal ini
dikarenakan identitas suku batak toba tetap terjaga dengan adanya marga.
REFERENSI
https://id.wikipedia.org/wiki/Marga_Batak_di_Toba
http://semuatentangbatak.wordpress.com/silsilah-dan-sejarah-marga-batak/
Komentar
Posting Komentar